Pages

Monday 28 January 2013

Love You and Goodbye



Aku memandangi foto tersebut beberapa saat. “Hanna, i’ll keep you on my mind... we will meet again someday. Goodbye...” Ucapku dengan memegang erat selembar foto di tangan kanan lalu menempalkannya di dada.

“Hanna!!” mimpi itu lagi! sudah beberapa kali aku bermimpi seperti itu.
***

“aku tidak tau mengenai Hanna semenjak kepindahannya. Lagipula, kenapa kau baru mencarinya sekarang? Terakhir kali aku bertemu Hanna 2 tahun yang lalu, ia bercerita kepadaku bahwa keluargamu tidak menyetujui hubungan kalian. Karena itu kah kau meninggalkan Hanna ke Paris ?” Celotehan Irina membuatku benar-benar merasa bersalah. Saat ini aku membutuhkan dukungan, bukan nasehat-nasehat yang memojokkan posisiku. Pergi ke Paris juga bukanlah keinginanku. Tetapi, jika aku tidak melakukannya aku akan lebih melukai Hanna.

“Irina, aku datang kepadamu untuk menanyakan keberadaan Hanna, bukan untuk mendengarkan ocehanmu! Kau tidak tau apa pun mengenai aku, jadi jangan pernah berkata seolah-olah aku yang paling bersalah dalam hal ini!” bentakku padanya. Irina menghampiriku, kemudian aku merasa cairan bening mengalir dari atas membasahi kepalaku. Wanita itu menyiramku dengan segelas air putih! “apa-apaan kau Irina?!”

Ia tersenyum sinis. Matanya menatapku tajam penuh rasa kebencian. “kenapa kau hanya mencintainya Evan?! Aku menyukaimu lebih dari Hanna!! Kalau wanita yang kau puja-puja itu memang mencintaimu, mengapa dia pergi?! Mengapa dia tidak tetap diam menunggmu seperti yang aku lakukan selama ini?! Aku bisa memberikanmu kasih sayang yang tidak pernah Hanna berikan kepadamu Evan!” ucapan Irina membuatku bergidik. Wanita itu sungguh menakutkan. Ia terlalu terobsesi terhadapku yang tidak pernah menyukainya sedikitpun. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil langkah seribu meninggalkan rumahnya.

Tampaknya datang pada Irina adalah keputusan yang salah. Tapi hanya dia satu-satunya yang tersisa. Semua orang yang dekat atau pernah dekat dengan Hanna sudah aku kunjungi rumahnya satu per satu, namun mereka juga tidak mengetahui keberadaan wanita yang sangat ku cintai itu.

Aku mulai putus asa. Aku tidak tau lagi harus berbuat apa dan pergi kemana untuk mencarinya. Akhirnya aku memutuskan untuk menenangkan diri ke tempat aku dan Hanna biasa berkunjung. Duduk di tepi pantai dan menatap lautan luas adalah kegemaran kami. Namun rasanya kini tidak sama seperti dulu. Sekarang Hanna tidak ada di sampingku, ia pergi entah kemana tanpa meninggalkan jejak.

Langit biru yang cerah mulai berubah warna menjadi oranye kekuningan. Tidak terasa aku sudah berjam-jam duduk di tepi pantai ini. Aku seperti orang bodoh. Menunggu dan berharap Hanna akan datang dan tersenyum kepadaku. Hanna, aku harus menjelaskan padamu alasan aku meninggalkanmu dan memintamu untuk menunggu tanpa waktu yang jelas, tapi di mana dirimu saat ini?

Ckrek!

Tiba-tiba saja aku melihat kilatan lampu flash. Tampaknya seseorang telah mengambil fotoku dari belakang tanpa sepengetahuanku. Aku membelokkan badanku dan ternyata dugaanku benar! “apa yang kau lakukan?! Aku tidak suka seseorang memotretku tanpa izin!” wanita itu tidak memedulikanku dan masih menatapi kamera DSLR-nya.

“ah, oh, maaf, aku tidak sengaja memotretmu. Hanya saja kau terlihat begitu menyatu dengan objek sekitar. Kalau kau keberatan kau boleh menghapusnya.” Ia perlahan menghampiriku. Ia menyodorkan kameranya ke arahku. “ini, hapuslah sendiri fotomu.” Ujarnya.

Entah perasaan apa yang menghinggapiku. Aku tidak suka seseorang mengambil fotoku tanpa izin terlebih dengan orang yang tidak ku kenal. Tetapi kali ini berbeda. Aku ingin mengambil kamera itu dan menghapusnya tapi aku tidak bisa. Hatiku berkata untuk tidak menghapusnya. “tidak perlu. Kau bisa menyimpannya.” Kataku berusaha bersikap acuh.

“sungguh?! Terimakasih! Oya, siapa namamu?” wanita itu tersenyum riang.

Tanpa sadar aku bersama dengannya sepanjang sore. Kami berbincang-berbincang tentang banyak hal hingga larut. Dan selama itu aku tidak memikirkan Hanna. Kehadiran wanita bernama Kelly yang mempunyai hobby fotografi itu telah membuatku merasa semakin bersalah terhadap Hanna. Bisa-bisanya aku bersama wanita lain dan melupakannya. Aku tidak tau, sungguh... semua mengalir begitu saja. Hanna, aku harap kau tidak marah padaku jika kau mengetahui ini. Aku hanya mencintaimu seorang.
***

“jadi kau pergi meninggalkannya karena terpaksa? Kalau kau tetap bersama dengannya apa yang akan terjadi?” baru 2 hari aku mengenal wanita ini, tapi aku merasa sangat dekat dengan dirinya. Kelly adalah tipe yang periang. Setiap aku menatap matanya yang berkilat-kilat, aku merasa ia memberikan aku semangat untuk tetap menjalani hidup walau perih.

“jika aku tetap bersamanya... ibu ku akan melukainya dengan cara memperkenalkan Hanna dengan Christie.” Aku tak mampu meneruskan ceritaku. Aku tertunduk berusaha tegar. Namun beberapa saat terdiam aku kembali mengangkat kepalaku yang terasa berat dan menatap Kelly untuk melanjutkan ceritaku. “Christie adalah wanita asal Paris yang di jodohkan denganku. Semua itu adalah ulah ibu ku, maksudku ibu tiriku. Ia ingin menyingkirkan aku dari rumah dan menguasai harta almarhum Papaku. 3 tahun aku menetap disana sampai pada saat acara pertunanganku dan Christie diselenggarakan, tiba-tiba ibu tiriku mengalami serangan jantung dan ia meninggal di tempat. Aku berfikir bahwa ini adalah kesempatan bagiku untuk kembali ke Indonesia dan menemui Hanna. Tapi aku masih belum dapat bertemu dengannya. Aku takut sesuatu terjadi kepadanya.”

Wanita itu memegang bahuku dengan kedua tangannya. Ia menarikku ke dalam pelukannya. “kau laki-laki yang sangat baik Evan. Mendengar ceritamu aku jadi merasa iri terhadap Hanna. Ia beruntung sekali mendapati dirimu. Aku akan membantu mencarinya.”

“terimakasih Kelly.” Ucapku pelan karena sedikit terkejut.

“sebaiknya kita pulang sekarang, langit sudah gelap. Bye Evan.” Lagi –lagi gadis itu memamerkan senyum lebarnya yang indah. Aku seperti terhipnotis olehnya. Aku tidak boleh begini. Aku harus sadar dan memikirkan Hanna.

Langkah kakiknya semakin menjauh, sosoknya pun samar-samar tak terlihat lagi oleh kedua mataku yang mempunyai minus 2. Kini hanya aku yang berada di tepi pantai ini. Ketika aku bersiap pergi dari sana tiba-tiba terdengar suara seperti bisikan angin:

“Evan, selamat tinggal... aku harap kau bahagia bersama dengannya. Terimakasih untuk semua cinta yang pernah kau berikan.”

Suara itu lembut dan sangat pelan. Tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Aku rasa ini hanya halusinasiku saja karena belakangan ini aku selalu berkunjung ke tempat aku dan Hanna biasa bersama. Aku begitu rindu terhadapnya sehingga aku sampai mendengar suara-suara aneh di telingaku.

Jam menunjukkan angka 8 dan aku langsung melesat ke parkiran mobil dan menginjak gas untuk pergi dari tempat itu. Di tengah perjalanan aku teringat kembali akan semacam suara atau bisikan di telingaku tadi saat di pantai. Hanna, dimana dirimu? Aku rasa aku sedang frustasi sampai-sampai mengira suara itu adalah suaramu.

Ciiiittttttt...

Hampir saja aku menabrak wanita tersebut! Untunglah aku segera menginjak pedal rem. Ketidakkonsentrasianku ini cukup untuk menyeretku ke penjara. Aku melepas seat belt dan berniat menghampirinya. Tetapi ketika aku keluar mobil aku tidak melihat siapapun. Kemana wanita itu pergi? Tanyaku dalam hati penasaran.
  
“Hei! Evan! Apa yang kau lakukan di jalanan sepi seperti ini?” seruan itu.. aku rasa aku mengenal suara itu.
  
“K- Kelly?” kataku sedikit gugup tak percaya. Suatu kebetulan yang luar biasa menurutku.
Selangkah, dua langah, tiga langakah ia berjalan mendekatiku. Sekarang ia tepat di depan wajahku. Kelly terdiam tertunduk menatap aspal jalanan beberapa saat, lalu kemudian dengan secepat kilat ia merangkulku, ia merangkulku dengan erat seperti orang yang sudah sangat lama tidak bertemu dan meluapkan kerinduannya yang membuncah. Dan pelukannya kali ini berbeda jauh dengan yang sebelumnya.

“h-hei, Kelly, ada apa denganmu?” tanyaku agak terbata-bata karena kelakuan wanita satu ini. Entah mengapa aku merasa gugup, aku tidak nyaman ia memelukku. Aku merasakan hal yang aneh dan di lain sisi aku juga tidak enak dengan Hanna.

“jangan merasa tidak enak. Aku hanya ingin memelukmu sebentar saja Evan.” Nadanya begitu lembut dan membuat aku luluh. Aku membalas pelukan Kelly dan membiarkan ia juga memelukku.
***

“Evan, kemana lagi kita harus mencari Hanna? Kita sudah mengunjungi rumah tempat ia tinggal dulu dan menanyakan kepada tetangga sekitar namun tidak ada yang tahu dimana keberadaan ia atau keluarganya saat ini.” aku mendengar suara Kelly yang sedang menyetir mobil. Aku tau ia bertanya padaku. Tetapi aku tidak menjawabnya. Aku diam membisu karena aku masih teringat akan kejadian semalam. Entahlah, tetapi dari nada bicara Kelly ia seperti tidak pernah melakukan hal itu.

“Aku tau Evan, kau ingin pergi ke pantai itu lagi dan menghabiskan waktu disana saja, bukan? Baiklah, aku akan menemanimu.” Ujarnya.

Sesampainya kami disana, seperti hari-hari yang lalu aku dan Kelly duduk di atas pasir putih tepi pantai tersebut dan memandangi lautan biru luas yang indah serta gumpalan awan cerah yang berbentuk seperti gulali.

“Hanna, ah maksudku Kelly... boleh aku tau dimana kau kemarin jam 8 malam?” senatural mungkin aku bertanya pada Kelly agar ia tidak curiga. Entah mengapa aku ingin menanyakan hal ini.

“ah, jam 8 kalau tidak salah aku menelfonmu tetapi handphone-mu sepertinya tidak aktif. Memangnya ada apa Evan?” wanita itu menjawab pertanyaanku sambil memotret objek-objek di sekitarnya.

Apa?! Lalu siapa yang memelukku kemarin malam?! “t-tidak, tidak ada apa-apa.” ucapku berharap Kelly tidak menyadari keterkejutanku.

Ia berdiri dan menghempaskan pasir dari celana panjang. “Evan, tolong pegang dulu kameraku, aku mau ke kamar kecil.”

“baiklah.” Kataku sekenannya.

Melihat kamera itu hatiku seperti tertarik untuk melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Aku mulai menelusuri satu persatu foto demi foto yang diambil oleh Kelly. Dia memang wanita yang berbakat. Semua hasil potretannya bagiku begitu memukau.

“hei, kau sedang apa? melihat-lihat foto ya?” sahut seseorang yang sudah pasti Kelly. Rupanya ia kembali dalam waktu yang sangat singkat, padahal aku belum menemukan fotoku karena terlalu banyak tertimpa oleh foto lainnya.

Aku mengulurkan kamera itu padanya. “ya, hanya sekedar melihat-lihat. Kau memang fotografer yang handal menurutku.”
  
“haha Evan kau pandai sekali memuji. Tapi aku masih amatir dan harus banyak belajar lagi.” Ia tertawa lepas dan tersenyum lalu kembali mengambil gambar di sekitarnya.

“Evan, bagaimana kalau kita foto bersama? Kau mau tidak?” tanya gadis itu dengan mimik yang berharap aku akan mengiyakannya.

“baiklah, terserah kau saja.”

Ckrek!

“waaah Evan, lihat!” Kelly menunjukan hasil foto di layar LCD kamera itu kepadaku. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. “kau tampan sekali, kalau teman-temanku melihatnya mereka pasti akan berebutan untuk berkenalan denganmu haha.”

“sepertinya virusku tertular. Sekarang kau jadi pandai memuji Kelly.” Sindirku diiringi sedikit gelak tawa.

“mungkin saja haha.” Wanita itu tertawa renyah sampai matanya benar-benar menyipit.

Bersama dengannya aku merasa hal yang berbeda. Apa ini adalah rencana Tuhan untukku? Apa aku harus melupakan Hanna dan memulai kehidupan yang baru dengan orang yang baru juga? Entahlah, sempat terlintas difikiranku seperti itu tetapi aku belum berani mengambil tindakan nyata. Aku takut keputusan yang ku pilih malah akan memperburuk keadaan.

Bagaimana jika ketika aku sudah memilih Kelly, tiba-tiba Hanna muncul dan kembali? Aku tidak tau harus menjelaskan padanya mulai dari mana. Aku tidak ingin melukai hatinya lagi.

“Evan, aku akan bahagia jika kau bersama Kelly. Dia wanita yang baik. Kau tidak perlu ragu.”

Suara bisikan itu lagi! “Kelly, kau dengar suara itu?” tanyaku padanya seperti orang paranoid.

“suara apa Evan? Aku tidak mendengar apa pun, dan tidak ada suara lain selain desiran ombak di sini.”

“sudahlah, lupakan saja.” Ini membuatku gila. Suara itu kembali muncul dan membuat bulu kudukku berdiri. Apa maksud semua ini??
***

Nada dering handphoneku berbunyi cukup keras dan berhasil membangunkanku yang masih terlelap. Aku menekan tombol ‘jawab’ tanpa melihat siapa yang menelfon karena mataku menempel dan aku kesulitan membukanya.

“hallo..” sapaku dengan suara berat dan sedikit serak khas orang bangun tidur.

“astaga Evan, kau baru bangun tidur? Ini sudah jam 8, kau tau?!” omelan dengan intonasi yang cukup tinggi serta suara yang agak cempreng ini tidak salah lagi adalah milik Kelly.

“ah Kelly, berhenti mengomel. Telingaku sakit, kau tau? Ada apa menelfon pagi-pagi? Tidak biasanya kau begini.” Akhirnya setelah usaha yang cukup keras mataku bisa terbuka dan aku langsung melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka sambil masih menempelkan benda kecil itu di telingaku.

“aku sedang di tempat cetak foto. Aku ingin mencuci fotomu yang pertama kali aku ambil dan foto kita kemarin.” Ucapnya terkekeh. “setelah selesai aku akan kerumahmu untuk memberikannya. Jadi aku harap kau segera mandi karena aku tidak mau kebauan ketika berada didekatmu nanti haha.”

“ok ok, baiklah. Aku tunggu.”
***

“Evan, Kelly is here.” Aunty Clarice memasuki kamarku, ia adalah wanita asal Australia, ia juga istri dari kakakku satu-satunya yaitu James. Tetapi berhubung kakakku sedang mengurus cabang perusahaan keluarga di Jerman, ia meninggalkan istrinya dirumah bersama denganku dan sekaligus untuk menemaniku.

Ia berjalan ke arahku yang sedang duduk di atas kasur sambil membaca buku. “i’m happy you already moved on from Hanna.”

“i’ve never tried to do that Aunty. Hanna will always be in my mind.” Ujarku menutup buku itu lalu turun ke lantai bawah untuk menemui Kelly.

“Don’t deny Evan. Don’t ignore your heart cause your mind won’t be able to feel it.” Seru Aunty Clarice.

Perkataan Aunty-ku memang benar. Tetapi saat ini aku belum tau apa yang aku rasakan dan apa yang harus kulakukan serta kuputuskan.

“hei Kelly, sudah lama menunggu?” sahutku dari lantas atas lalu menuruni anak tangga satu persatu.

“oh h-hai Evan, tidak juga.” Suara Kelly terdengar gugup dan aneh. Seperti ada seseuatu yang ia sembunyikan dariku.

Aku baru ingat bahwa ia kemari karena ingin memberikan hasil fotonya. Aku pun menagih janji itu. “oya, boleh aku lihat foto yang sudah kau cetak? Pasti hasilnya sangat bagus.” Ucapku dengan menorehkan senyum kepadanya.

“ah i-itu.. iya hampir saja aku lupa.” Kelly langsung merogoh-rogoh ke dalam tas warna coklatnya mencari benda tersebut, tetapi tampaknya foto itu tidak ada. “mmm.. maaf Evan, aku rasa aku meninggalkannya di tempat cuci foto tadi. Aku akan mengambilnya dan segera kembali.” Aku bisa melihat dari bahasa tubuh Kelly yang canggung dan bersikap tidak seperti biasanya. Aku tau ada sesuatu yang terjadi dan ia tidak ingin aku mengetahuinya.

“tidak perlu Kelly!” pekikku cukup keras karena wanita itu sudah berada di ambang pintu dan bersiap pergi. “sini, duduklah dulu.” Kataku sambil menepuk-nepuk sofa.

Ia berjalan kaku menghampiriku dan duduk di sampingku. Aku memperhatikan air mukanya yang gusar dan agak pucat. “Kelly, tatap aku!” perintahku. Dengan terpaksa ia memutar kepalanya 90© dan berusaha memandangku. “Ada apa sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyaku mendalam.

Gadis itu mengalihkan tatapannya dan tertunduk. Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa ia sekarang tengah menangis sesenggukan. “aku berbohong Evan. Ambilah di dalam tasku dan lihatlah sendiri.”

Aku mengikuti perkataannya. Tapi untuk apa Kelly berbohong? Ini hanyalah foto. Batinku terus bertanya seperti itu sampai akhirnya aku mendapatkan benda yang kucari.

Terdapat 2 lembar foto dan foto yang pertama kulihat adalah foto aku dan Kelly saat di pantai kemarin. Kelly terlihat cantik dan begitu ceria di foto tersebut. Hal apa yang harus ia khawatirkan sampai-sampai ia berbohong padaku? Aneh sekali pikirku.

Foto selanjutnya... mungkin ini adalah alasan Kelly bersikap begitu. Aku tidak percaya melihatnya. Aku benar-benar shock. Jantungku berhenti berdetak dan seluruh syarafku mati selama beberapa saat. Aku tidak tau apakah ini editan semata atau foto asli sungguhan.

“Kelly, tolong jelaskan padaku. Kau yang mengedit fotoku, iya kan Kelly?!” aku menaikkan nada bicaraku terhadapnya karena foto ini memang sulit dipercaya.

“tidak Evan. Aku tidak mengeditnya. Aku juga tidak tau kenapa hasilnya bisa seperti itu.” suara parau dan tangisnya yang tak henti membuatku merasa bersalah. Aku telah menuduhnya melakukan itu. Aku telah bersikap kelewatan kepada wanita ini.

Aku memeluknya dalam sekejap. Aku tak mengerti mengapa aku bertindak seperti ini. Mungkin perkataan Aunty Clarice benar. Aku tidak boleh menyangkalnya. Aku tidak boleh mengabaikan hatiku karena pikiranku tak akan mampu merasakan kebenaran yang dirasakan oleh hatiku.

“maafkan aku Kelly. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Aku... aku hanya... ini sulit sekali dipercaya. Tapi aku harus mengatakan ini padamu.” Aku melepaskan pelukanku perlahan lalu menggengam tangannya dan memandang matanya lekat-lekat. “aku menyukaimu Kelly. Sungguh. Ini nyata perasaanku yang sebenarnya. Kau pasti meragukannya, tapi aku mohon kali ini percayalah. Sejak pertama berkenalan denganmu aku mulai merasa bayangan Hanna memudar dan perlahan kau menggantikan posisinya dihatiku. Senyumanmu memberikanku semangat. Tawamu telah merubah aku yang dulu selalu menyalahkan diri sendiri karena meninggalkan Hanna. Aku jujur dengan ucapanku Kelly.”

Ia berhenti menangis dan menatapku. Tatapan matanya tampak sedang mencari-cari kejujuran didalam mataku. Tiba-tiba saja wanita itu merangkulku erat sekali.

“akhirnya kau bisa mencintai orang lain. Aku sangat bahagia Evan. Maaf aku menggunakan tubuh Kelly untuk berbicara denganmu. Kau begitu serasi dengannya. Satu saja permintaanku Evan, aku ingin kau dan Kelly datang ke tempatku.” Suara itu! Aku ingat sekarang. Ini adalah suara Hanna!

“tidak, Hanna, jangan pergi!” aku semakin mempererat pelukanku.

“Evan, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus pergi setelah aku dapat berbicara denganmu. Terimakasih untuk semua cinta yang pernah kau berikan. Kau adalah pria yang istimewa bagiku.” Aku meneteskan air mata mendengar perkataan Hanna. Bagaimana bisa ia meninggal? Apa yang telah terjadi?

“tunggu! Hanna, apa yang telah terjadi padamu?” dengan cepat aku melepaskan dekapanku dari tubuh Kelly yang berisikan roh Hanna.

“a-aku... meminta keluargaku untuk pindah kuliah ke Bali. Aku berharap bisa melupakanmu di sana. Tetapi aku salah, aku justru semakin merindukanmu yang tak kunjung datang. Nilaiku juga menurun drastis, dan aku tidak ada orang yang mau dekat denganku karena mereka berfikir aku wanita yang aneh dan selalu menyendiri. Mereka menjauhi aku dan memandangku sinis. Karena aku tidak tahan akan cobaan ini, akhirnya aku menjatuhkan diri dari lantai 5 gedung asramaku. Evan, aku malu sebenarnya menceritakannya padamu. Aku wanita yang lemah, tapi kau harus tau. Aku tidak ingin membuatmu terus bertanya-tanya dan mencari aku yang bahkan sudah tiada.” Kelly, melalui dirimu aku dapat melihat tatapan sedih Hanna. Aku bisa merasakannya.

“Hanna, kemana aku harus pergi?” tanyaku polos.

“aku akan menyampaikannya pada Kelly. Aku harus pergi Evan. I love you, goobye...” setelah mengucapkan kalimat terakhirnya tubuh Kelly kemudian terkulai lemas, pingsan di atas sofa.
***

Jumat, 11 November 2011 - Denpasar, Bali

Aku dan Kelly saat ini berada di tempat, di mana Hanna dimakamkan. Ternyata setelah meninggalnya Hanna, orangtuanya kembali ke kampung halamannya di Manado. Aku tak dapat bersua. Aku masih belum menyangka nisan di hadapanku ini benar-benar miliknya. Meskipun tertulis jelas dan lengkap nama “Hanna Isabel Maria” namun di dalam hatiku, aku berharap ini adalah Hanna Isabel Maria yang lain, bukan Hanna yang ku cintai.

“Evan, cepat letakkan bunga melati putih itu. Hanna pasti sudah menunggu momen ini. Aku yakin dia bahagia di atas sana.”ujar Kelly yang berdiri di sampingku yang sudah lebih dahulu menaruh bunga di atas makam Hanna.

Tanganku gemetar ketika akan menaruh bunga tersebut. Aku seakan tak mampu menghadapi kenyataan ini. Tetapi Kelly menggengam tanganku. Ia membantuku dengan senyum ikhlasnya. Tak terlihat sama sekali kecemburuan di wajahnya walau ia tau masih ada sebagian dari Hanna yang tertinggal di dalam diriku.

Aku mengeluarkan selembar foto dari dompetku dan menaruhnya di dekat bunga melati putih itu. Ya, foto yang ku taruh adalah hasil jepretan Kelly yang membuatku tersentak kaget. Foto itu adalah fotoku saat pertama kali aku dan Kelly bertemu. Ia memotretku dari belakang, dan ternyata terdapat sosok bayangan Hanna yang cukup jelas di dalam foto tersebut setelah dicetak. Ia terlihat sedang duduk di sampingku, dan yang membuatku lebih terkejut yaitu ia tampak seperti mencium pipiku. Saat pertama kali melihatnya aku meneteskan air mata karena begitu tak percaya. Namun, biar bagaimanapun itu adalah kenyataannya.

“Kelly, tetaplah bersamaku dan jangan pernah meninggalkan aku. Karena apa pun yang terjadi aku tidak akan pergi darimu.” aku memeluknya dengan erat. Aku tidak akan lagi menyia-nyiakan wanita yang berharga dalam hidupku. Cukup sekali aku berbuat kesalahan dan tak akan aku mengulanginya.

“Evan, thank you for loving me.” Bisiknya di telingaku.

Hanna, you never really left. I’ll always remember you. I can’t forget you or erase you from my heart. I’m able to get my happiness with Kelly, and i hope you’re smiling seeing us from up there.



I will watch you through these nights..
Rest your head and go to sleep..
This is not our farewell..
(Within Temptation – Our Farewell)


THE END

Saturday 26 January 2013

My Bestfriend or My True Love?

Sebelumnya, aku tidak pernah tahu makna cinta, karena menurutku yang lebih indah dari semua itu adalah persahabatan. Persahabatan lebih dari apapun, karena mencari sahabat sejati begitu susahnya, seperti mencari sebatang jarum diantara tumpukan jerami. Bersama seorang sahabat kita dapat berbagi cerita tentang kebahagiaan dan kesedihan, bahkan sampai ke hal-hal yang pribadi. Aku sendiri mempunyai seorang sahabat yang sangat kupercaya yang kukenal sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Sorot matanya yang teduh bagaikan cahaya yang menerangi disaat gelap, senyumnya seperti embun pagi yang menyejukkan hati, serta sikapnya yang lembut namun juga mampu tegas dan bijaksana membuat siapapun merasa dekat dengannya. Tapi jangan salah sangka dulu, ia bukan tipe orang yang sangat serius. Ia juga bisa bercanda, dan hanya saat bersamanyalah aku bisa melupakan kesedihan hatiku, walaupun hanya untuk sejenak. Aku banyak belajar dari dirinya, begitupun sebaliknya. Aku merasa sangat nyaman bersahabat dengan seseorang yang kupercayai. Ia selalu ada disaat aku senang, menghibur disaat sedih, dan mengingatkan disaatku lalai. Dulunya aku adalah seorang yang procrastinator alias sering menunda-nunda waktu. Kemudian ia datang dan mengajariku mengenai pentingnya mengatur waktu karena fokus dan tujuan hidupnya selalu berorientasi pada waktu. Ia mampu mengatur, mengelola dan mengorganisir waktunya dengan baik .


“Udah bikin tugas, belom?” tanyanya disaat kami masih berseragam putih abu-abu, tetapi aku hanya menggeleng sambil menatapnya penuh harap.
“Kenapa? Ada materi yang belum dimengerti, ya, Fi?” tanyanya lagi yang membuat senyumku mengembang.
“Ya udah, sini aku ajarin,” lalu dengan sabarnya ia mengajariku tentang tips-tips menguasai rumus hidrokarbon mata pelajaran Kimia. Aku seringkali merasa rendah diri bila mengingat kemampuanku yang belum seberapa kemampuannya bila dibandingkan dengannya.


Beberapa waktu lalu ia mengunjungi rumahku, dan seperti biasanya ia menceritakan banyak hal yang membuatku lupa waktu. Penampilannya sederhana, dan sikapnya terhadapku juga sama seperti biasanya, tak ada yang berubah. Tetapi suasana hatiku yang terlalu bahagia saat itu membuatku bertanya padanya,”Ehem…, tumben rapi banget? Janjian dengan doi, ya?”
Dan saat itulah ia bersemangat menceritakan seseorang yang berhasil mencuri hatinya. Ia mengatakan padaku bahwa ini adalah cinta pertamanya. Aku sangat berharap ia sedang menceritakan diriku, tetapi….
“Kalau kamu sendiri gimana, Fia? Udah punya gebetan juga?”
Hatiku langsung ciut saat ia malah balik bertanya padaku, tetapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa Ayyas, sahabatku itu pasti sedang menguji hatiku. Sementara itu, aku hanya menggeleng sambil berusaha tetap tersenyum, meskipun didalam hati aku merasakan perih yang teramat dalam.
Untuk memastikan siapa gerangan yang sedang ia ceritakan, akupun memberanikan diri untuk bertanya,”Memangnya siapa dia, Yas? Cantik, ya?”

Aku melihatnya hanya tersenyum simpul, seperti orang yang sedang kasmaran. Matanya yang teduh menerawang ke langit-langit ruang tamu rumahku,”dia cantik, dan sifatnya secantik wajahnya. Namanya Bella, teman satu kampus denganku,”
Ayyaspun bercerita mengenai Bella secara detail. Bella adalah tipe wanita yang jauh lebih unggul dibandingku. Secara akademis ia berhasil membawa nama baik sekolahnya saat SMA setelah memenangkan medali emas dalam ajang olimpiade Matematika se-provinsi. Selain itu, ia juga sungguh mempesona karena keanggunan dan kepribadiannya yang sholehah. Aku dapat merasakan panas didalam hatiku, tapi aku berusaha menutupinya. Aku hanya tak ingin dia mengetahui perasaanku, setidaknya sampai beberapa hari.
“Oh….,”hanya itu yang keluar dari mulutku, aku tak dapat berkata apapun lagi.
“Kok itu doang, Fia? Kasih selamat dong, atau apa kek, gitu….?”tanya Ayyas membuyarkan lamunanku.

Kemudian ia menatap mataku, dalam waktu yang relatif lama kami beradu pandang. Ada satu hal yang membedakan kami yaitu ia menatapku penuh tanda tanya, sedangkan aku menatapnya tajam. Herannya, Ayyas sama sekali tidak marah, ia malah mengeluarkan jurus andalannya yaitu tersenyum manis sambil memasang wajah lucu. Akhirnya kali ini aku menyerah, dengan setengah hati aku menuruti permintaannya,”Selamat ya, Yas. Mudah-mudahan jadi keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah…,”
“Hahahaha!!! Hari gini kamu masih sempet-sempetnya bercanda, ya, Fi.., kami kan belum married, hahaha….!” tawanya.

Aku manyun. Sementara itu ia bingung melihat perubahan sikapku yang boleh dikatakan drastis.
“Hmmm…, tadi ketawa, sekarang kok manyun?”
“Gak tau…,”sahutku ketus.
“Jangan gitu donk, sobat…., ntar kesambet, lho….,”kilahnya sambil memasang wajah lucu yang membuatku tak dapat lagi menahaan tawa.
“Nah, gitu dong. Senyum dikit…, kan keliatan cantiknya,”ia mulai merayuku lagi. Aku sendiri tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Sejujurnya aku ingin marah, tetapi aku tak ingin memarahinya hanya karena perasaanku, karena itu berarti aku ingin menang sendiri. Namun anehnya, di hatiku terbersit sebuah rasa senang yang sulit kuungkapkan saat ia berujar seperti tadi. Aku tak ingin menghancurkan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun hanya karena rasa ‘aneh’ ini.
“Anyway, gimana kuliahmu, Fi? Kapan ujian semesteran?”
“Dua minggu lagi,”jawabku singkat.
“Gak nanya balik? Biasanya kamu nanya balik ke aku…?” tanyanya.
“Ok…, kalau kamu?” tanyaku sambil memandangnya sekilas.
“Kalau aku seminggu lagi. Doakan ya, semoga lancar,”
“Aamiin,”jawabku singkat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi didalam hatiku, seolah ada rasa yang ingin memberontak, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.

Ia melirik jam tangannya, saat itu memang sudah sore. Iapun pamit.
“Fi, aku pulang dulu, ya, Insya Allah kalau ada waktu aku kesini lagi. Masih ada banyak hal yang belum sempat aku ceritakan. Assalamu’alaikum,” pamitnya sambil melangkah keluar.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku pelan. Didalam hati aku benar-benar gusar. Untuk apa dia menceritakan ‘seseorang spesial’nya itu kepadaku? Untuk memanas-manasi hatiku? Atau untuk memamerkan padaku? Aku sungguh tak mengerti, aku merasa ia telah berubah dan tak lagi seperti Ayyas yang dulu kukenal.

Dan sejak saat itulah aku tak lagi bertemu dengannya. Janji hanya tinggal janji. Dulu ia mengatakan padaku masih banyak hal yang ingin ia ceritakan, tetapi sampai sekarang ia tak pernah menepatinya. Malam ini tepat tiga bulan setelah kejadian tersebut, dan sejak itulah kami tak lagi saling berkomunikasi. Hari-hariku menjadi sepi tanpanya, namun aku mencoba kuat. Ingin rasanya aku kembali menghubunginya, tetapi aku tahu hal tersebut akan menjadi sia-sia. Ia tidak pernah sekalipun peduli mengenai perasaanku, ia tidak pernah tahu, bahkan tidak pernah mempedulikan arti sebuah rasa yang telah lama tersimpan di hatiku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjatuhkan pilihanku padanya, jujur aku tidak pernah memimpikannya menjadi pangeranku. Tetapi entah mengapa tiba-tiba saja rasa itu hadir ditengah seringnya intensitas kebersamaan kami. Ia menjelma menjadi seseorang yang menghapus luka disaat diriku sedih, menolongku untuk bangkit disaat aku terjatuh, dan mendukungku disaat senang, aku tahu seharusnya aku mengabaikan saja semua ini, karena aku tahu dia dan aku berbeda.

Ya, berbeda. Ia jauh lebih unggul dibandingkan aku. Ia memiliki segalanya, sedangkan aku? Aku ini bukan siapa-siapa, hanya seorang mahasiswi biasa yang tidak sepopuler dia. Dalam bidang akademis, aku juga harus mengaku kalah. Ia menjadi tumpuan harapan teman-temannya disaat ujian. Biasa deh, jadi sesepuh, hehe. Namun bukan itu hal yang membuat aku mengaguminya. Menurutku ia lebih dari sekedar seseorang yang baik. Sama seperti yang kujelaskan tadi, Ayyas adalah orang yang bijaksana dan bertanggungjawab. Aku merasa ada medan magnet yang tak mampu kutarik dari hatinya. Sebuah asa yang nyaris kugapai ternyata harus pupus begitu aku mendengar cerita darinya.

Satu hal yang masih tidak bisa kupahami adalah, mengapa aku menjatuhkan pilihan padanya? Padahal sudah begitu banyak lelaki yang menyatakan perasaannya padaku, mulai dari yang malu-malu tapi mau, hingga menyatakan langsung alias to the point. Mulai dari seseorang yang biasa saja hingga yang luar biasa dan bertalenta. Tetapi itu semua masih saja belum cukup untuk memudarkan perasaanku padanya. Aku tidak tahu entah magnet apa yang ada didalam hatinya, sebuah magnet yang berhasil menarik hatiku. Aku tidak tahu hal apa lagi yang hendak disampaikannya padaku, mungkin saja ia sudah lupa, bahkan mungkin saja sama sekali ia sudah tidak mengingatku lagi.
Nggak, nggak mungkin, aku yakin pasti dia sedang mengingatku juga disana, walaupun hanya sekilas. Dalam keheningan malam ini aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang terbaik untukku, apapun itu.

Berbicara mengenai Bella, aku memang belum mengenalnya, apalagi melihat wajahnya. Tetapi setelah mendengar cerita Ayyas itu, aku mengambil kesimpulan bahwa aku memang bukanlah orang yang tepat untuknya. Mulai saat ini aku tak ingin mengingatnya lagi. Tak ada gunanya mengharapkan seseorang yang tidak pernah mempedulikan diriku. Biarlah ia bahagia bersama pilihan hatinya, dan aku juga akan bahagia untuk itu. Setiap manusia memiliki jodohnya masing-masing. Aku yakin tulang rusuk tidak akan pernah tertukar dengan pemiliknya dan akan dipertemukan kembali pada saat yang tepat. Aku akan sangat bersyukur bila ia adalah jodoh yang ditakdirkan Allah swt untukku, namun bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, aku akan berusaha ikhlas dan mendoakan yang terbaik untuknya. Terkadang hal yang kita inginkan dan harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Setiap fase kehidupan yang kita lalui di dunia ini pasti ada hikmahnya. Dibalik semua kejadian yang terjadi saat kita lahir, dewasa, hingga ajal menjemput memiliki hikmah tersendiri. Aku sendiri baru saja melewati fase kehidupan mengenal arti cinta. Aku mengerti cinta itu adalah sebuah rasa yang tak dapat dipaksakan. Kita tidak dapat melarang atau memaksakan seseorang untuk menjatuhkan pilihan hatinya kepada kita, hanya saja tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Pada dasarnya cinta terbagi dua, cinta karena mengharap ridho Allah dan cinta berlandaskan nafsu semata. Aku berharap semoga aku tidak menjatuhkan pilihan hati kepada seseorang hanya karena fisik dan hartanya, karena yang lebih kekal daripada itu adalah hati dan keimanannya.

Aku melirik ponselku yang terletak diatas meja, dan ternyata hasilnya masih sama seperti hari-hari kemarin sejak kejadian itu. Tidak ada BBM yang biasanya membangunkan aku saat dini hari untuk mengingatkan tahajud, dan juga tidak ada missedcall darinya yang terkadang membuatku kesal sekaligus senang. Kesal karena ia berhasil mengerjaiku ditengah malam sekaligus senang karena ia mengingatkanku untuk bertahajud cinta.
Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Disaat aku sedang online di akun YM, Gtalk atau Skype pun hasilnya akan nihil. Ia benar-benar sudah melupakan aku. Itulah kenyataan yang menghujam perasaanku.
***

Pagi ini mentari bersinar cerah. Aku ingin seperti mentari yang tak pernah ingkar janji untuk selalu menghangatkan bumi dengan sinarnya. Kini aku telah terbiasa tanpa kabar darinya. Sambil bersenandung kecil, aku mempersiapkan diri untuk berangkat kuliah. Aku ingin menjadi seperti Fia yang dulu, menjadi seseorang yang periang dan bersemangat menjalani hari-hari. . Aku tidak ingin dia tahu tentang perasaanku ini, perasaanku padanya cukup kusimpan dan kututup rapat-rapat di relung hatiku yang terdalam. Sekarang aku berusaha untuk tidak menodai persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun, walau terkadang batin ini sering bertentangan dengan ucapanku.

Ponselku tiba-tiba berdering. Sebenarnya aku malas untuk mengangkatnya, tetapi firasat hati ini membuatku melangkah mengambil ponsel yang terletak diatas meja. Kulihat nama yang tertera dilayar ponsel. Sebuah nama yang sudah tiga bulan ini tidak pernah muncur di layar ponselku. Perasaanku langsung berubah tak menentu begitu membaca nama yang tertera. Ada apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa tiba-tiba Ayyas menghubungiku?
“Halo, assalamu’alaikum….,” sapa Ayyas.

Aku terdiam cukup lama untuk membalasnya,”Wa…, wa’alaikumsalam,”
“Heiii…, apa kabar, Fia? Udah kelar, kan, ujian semesterannya?”
Tanpa merasa bersalah sedikitpun ia menanyakan pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.
“Sekarang ini aku sudah mid semester selanjutnya, mengapa masih menanyakan ‘ujian semesteran’ lagi? Memangnya dia belum mid semester, apa?” gumamku dalam hati.
“Fia, aku mau curhat lagi nih, boleh, kan….?” tanyanya santai.

Aku membalasnya dingin,”Boleh. Tanyain aja,”
“Lho, kok ketus gitu sih jawabannya…? Kemana Fia-ku yang dulu? Yang lembut, manis, penuh ceria dan optimis?”
“Fia yang dulu udah meninggal!”
“Astaghfirullah, Fia.., pamali ngomong gitu…, jadi ngambek nih, ceritanya….?”
Aku hanya diam seribu bahasa.
“Hm…, ok, ok, aku ngaku salah. Aku minta maaf banget ya, Fia, karena udah tiga bulan ini nggak menghubungimu. Maklum, sindrom mahasiswa, apalagi mahasiswa tingkat akhir kan banyak galaunya. Yah sekalian juga sibuk sama si doi…, hehehehe….,”

Mendengar kata-kata itu aku berusaha mencairkan suasana,”Ok, aku maklum kok. Iya deh, orang penting pasti sibuk banget, ya? Sampai-sampai untuk menghubungi akupun nggak sempat,”
“Ya…, kan aku udah minta maaf…? Forgive me, please, Fia….,”
Ayyas mulai mengeluarkan jurus yang cukup ampuh untuk meredam emosiku.
“Ok…, katanya kamu mau curhat? Curhat apa, Yas?” tanyaku.
“Ng…, ini bukan curhat sih, Fi. Sebenarnya aku ingin meminta penilaianmu sebelum aku melangkah lebih serius lagi dengan Bella. Kapan kita bisa ketemuan? Kan kamu udah lama nggak jumpa denganku?”

Aku berpikir sejenak, dan teringat besok aku tidak ada jadwal kuliah,”gimana kalo besok aja, Yas? Besok aku free, jadi kita bisa ketemuan,”
“Wah, sama dong, Fi. Besok aku juga free. Gimana kalo di tempat biasa? Tempat yang sering kita kunjungi dulu bareng teman-teman se-gank?”
“Ok. Besok ba’da Ashar kita ketemuan di tempat biasa,” tutupku.
Batinku menjadi tak menentu, aku mencoba menerka-nerka, kira-kira apa yang hendak disampaikan Ayyas.
Setelah menutup pembicaraan, akupun bersiap-siap berangkat ke kampus. Sekarang sudah jam 8 pagi, namun tiba-tiba langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung, seakan-akan ikut merasakan kesedihan yang ada di hatiku. Ya Allah, kuatkan hatiku. Aku tak ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya, cukup hanya Engkau yang Maha Mengetahui isi hati yang tersirat dan tersurat ini.

Aku bahkan ragu untuk menyetir menuju ke kampus karena aku tak yakin mampu menyetir dalam cuaca dan hatiku yang tak menentu seperti ini. Lalu bagaimana dengan presentasiku pagi ini? Sekarang adalah giliran kelompokku untuk mempresentasikan perbandingan software aplikasi, sejak jauh-jauh hari aku mengunduh beberapa software aplikasi yang menurutku menarik untuk ditinjau kelebihan dan kekurangannya. Bila aku tidak datang, tentu saja itu merugikan aku dan juga teman-temanku sesama anggota kelompok.
Akhirnya tanpa pikir panjang lagi aku berangkat ke kampus, lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Di tengah perjalanan aku masih mengingat dengan jelas saat-saat kebersamaan kami di SMA dulu.

Aku memutuskan untuk melewati jalan pintas agar cepat sampai di kampus. Aku melewati sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu arah. Disaat aku berbelok ke kiri menuju jalan utama yang memiliki satu jalur dua arah, tiba-tiba dari arah depan aku melihat sebuah truk yang melaju kearahku. Truk itu keluar dari jalur yang seharusnya, entah apa penyebabnya aku tidak tahu. Akupun tidak tahu apa-apa lagi karena semuanya berubah gelap….
***

“Fia kemana sih? Kok lama banget datangnya?” tanya seorang mahasiswi kepada teman disebelahnya. Mahasiswi yang duduk disebelahnya menggeleng,”gak tau juga, Mel. Biasanya kan dia yang lebih duluan datang ketimbang kita…, kenapa nggak ditelepon aja?” usul mahasiswi tersebut. Mahasiswi yang ternyata bernama Mela itupun berinisiatif menghubungi ponsel Fia. Sesaat kemudian ia menyerah karena sudah tiga kali ia mencoba untuk menghubungi, tetapi panggilannya tak kunjung dijawab. Mela memandang sahabat yang duduk disebelahnya,”Gak dijawab, Fan. Apa mungkin masih di jalan?” gumamnya pelan.
“Tapi ini sudah duapuluh menit, Mel. Nggak biasa-biasanya Fia itu telat,” ujar Fany, khawatir.
“Santai aja, Fan, Insya Allah ntar lagi dia sampai, kok. Kita kan mau presentasi…, tahu sendiri Fia itu tipe orang perfeksionis? Dia pasti ingin menampilkan yang terbaik untuk kelompok kita….,” hibur Mela.
“Hmm., ya udah deh, kalo gitu kita tunggu aja. Tapi kalo dia nggak datang, gimana nasib presentasi kita hari ini?”

Mela menatap Fany agak lama. Ia berpikir sejenak lalu berujar,”terpaksa deh, minggu depan,”
Ternyata dugaan mereka benar. Fia tidak datang. Kedua sahabatnyapun bertanya-tanya, apakah mungkin Fia sakit? Atau karena cuaca yang sedang tidak bersahabat membuatnya malas datang ke kampus? Hingga jam kuliah usai, kedua bersahabat itu bergantian menghubungi Fia. Saat Mela mencoba menghubungi untuk yang kesekian kalinya, akhirnya ponselpun dijawab, namun suara yang terdengar bukanlah orang yang mereka cari, melainkan petugas rumah sakit yang memberitahukan bahwa Fia sedang berada disalah satu rumah sakit dalam keadaan kritis. Mela menutup ponselnya dengan perasaan yang tak menentu.
“Fia di rumah sakit….,”gumamnya.
“Siapa yang sakit? Orangtuanya, Mel?” tanya Fany, cemas. Mela menggeleng,”Sebaiknya kita kesana…,”

Mereka berdua lalu menuju ke sebuah rumah sakit tempat Fia dirawat dan ternyata ia berada di UGD. Didalam ruangan itu tampak seorang dokter bersama perawat sedang menangani Fia. Mela dan Fany hanya bisa menahan sedih dibalik jendela. Beberapa menit kemudian, Ayyas datang.
“Maaf, apakah kalian berdua temannya Fia?” tanya Ayyas. Mela dan Fany mengangguk.
“Bagaimana keadaan Fia? Dd…., dia kenapa…???” tanya Ayyas.
“Masih belum tau juga. Kamu sendiri siapanya Fia?” tanya Mela yang membuat Ayyas gelagapan,”Ng…, saya teman sekolah Fia….,”

Suasana kembali hening. Sesaat kemudian dokter keluar dari UGD. Dengan wajah yang terlihat agak tegang dokter tersebut berujar,” Fia kehilangan cukup banyak darah. Ia membutuhkan donor. Ada yang bergolongan B positif?”
“Golongan darah saya juga B positif, Dokter, ambil saja darah saya…,”ucap Ayyas. Beberapa saat kemudian bayangan Fia melintas di pikirannya, semua kenangan yang ada bercampur menjadi satu. Ayyas menjadi merasa sedih. Apakah ia salah bila mengenalkan Bella kepada Fia yang notabene merupakan sahabatnya sendiri? Seingatnya Fia hanya menganggapnya sebagai sahabat dan tidak pernah lebih dari itu, meskipun didalam hati Ayyas pernah tersimpan sebuah rasa yang lebih untuk Fia.
Ayyas mengikuti dokter tersebut untuk menuju ke sebuah ruangan untuk mendonorkan darah. Didalam hatinya, ia berharap dan mendoakan yang terbaik untuk Fia, sahabatnya.
***

Alat pemantau detak jantung yang terletak disamping Fia membuat hati Ayyas menjadi tak menentu. Ayyas yang berdiri diluar ruangan, mengintip dari balik jendela dan mencemaskan keadaan Fia, namun ditutup-tutupinya dengan berusaha tegar. Ayyas tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Ia ingin menjadi seseorang yang kuat menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya.
“Maaf, apakah Anda keluarganya Fia?” tanya seorang perawat yang menghampiri Ayyas. Ayyas menoleh kearah perawat tersebut,”Saya temannya….,”
“Di mobil Fia kami menemukan ini…,” perawat itu menyodorkan sebuah komputer tablet kepada Ayyas. Ayyas menerima dengan bimbang.
”permisi,” ujarnya lalu pamit keluar.
Merasa penasaran, Ayyaspun menghidupkan tablet PC tersebut . Tampak wallpaper Fia muncul di home screen layar. Wajah yang membuat Ayyas senang sekaligus sedih. Senang karena bisa melihat wajah itu tersenyum di layar monitor, sekaligus sedih karena Ayyas tak dapat berbuat banyak demi Fia saat ini. Saat sedang melamun, secara tak sengaja jari Ayyas menyentuh Catatan, dan terbukalah sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan.

Dear my notes,
Aku tak dapat menjabarkan apa yang sedang kurasa, hanya disinilah aku mengungkapkan semuanya. Semua yang ada di pikiranku, di jiwaku, bahkan di relung hatiku. Aku akan mengatakannya secara harfiah, se-mu-a-nya.

Dear my notes,
Apa kabar dirinya saat ini? Aku hanya ingin mengetahui keadaannya. Lama tak berjumpa setelah pertemuan terakhir beberapa waktu yang lalu. Ya, mungkin saja itu yang terakhir, walaupun sebenarnya aku tidak menginginkan pertemuan saat itu menjadi yang terakhir. Aku ingin melihatnya lagi, melihat pancaran sinar matanya yang lembut dan meneduhkan dan mendengarkan nasihatnya yang membuatku termotivasi.
Tetapi entah mengapa aku merasa pertemuan beberapa waktu yang lalu adalah pertemuan kami yang terakhir. Ia sudah menemukan seseorang yang tepat, dan itu bukan aku. Aku akan ikut berbahagia untuknya. Aku akan mendoakan yang terbaik baginya karena setiap tulang rusuk telah ditakdirkan untuk bertemu sesuai dengan pemiliknya.

Dear my notes,
Bila ada mentari yang bersinar di langit, pasti akan ada pula hujan yang jatuh membasahi bumi. Bila ada kebahagiaan, pasti juga ada kesedihan yang mengiringi. Kesedihan yang menjadikan diri kita menjadi lebih tegar dan kuat. Kesedihan yang menempa kita menjadi mandiri dan mampu menghadapi hidup.

Dear my notes,
Aku ingin menyampaikan pada 'dia', bahwa jika suatu saat ia ingin menangis, hubungi aku, ku berjanji akan membuatnya tersenyum. Jika suatu saat ia tak ingin mendengarkan siapapun, hubungi aku, kuberjanji akan diam menemaninya. Jika suatu saat ia belari untuk menghindar, hubungi aku, maka aku akan menemaninya hingga ia lelah dan berhenti. Tetapi bila suatu saat ia menghubungiku, namun tak pernah ada jawaban, aku berharap ia datang untuk melihatku, karena aku sudah tak ada lagi di dunia ini, dan yang masih tertinggal hanya batu nisanku.

Dear my notes,
Sungguh aku turut berbahagia dan aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Kali ini aku hanya ingin menyampaikan salam untuknya melalui semilir angin. Namun aku tidak tahu apakah angin membawa salamku sampai ke tujuannya…

Mata Ayyas berkaca-kaca, mengapa Fia begitu tertutup padanya? Khayalannya kembali pada Fia yang kini sedang terbaring lemah. Terbersit sebuah rasa terhadap seseorang yang telah lama berada di hatinya, meskipun ia tak pernah mengungkapkannya.
"Seandainya kamu tahu, Fia..., aku sengaja memperkenalkan Bella kepadamu, aku berharap kamu akan cemburu. Tetapi ternyata kamu terlalu pandai untuk menutupi perasaanmu yang sebenarnya. Aku berharap mungkin dengan cara ini, aku dapat meminta maaf padamu dan masih ada kesempatan untukku menyampaikan perasaanku...,"
Tiba-tiba , dokter membuka pintu ruangan ICU.
"Maaf, apakah Anda keluarga Fia?"
"Ss..., saya temannya, dok...," jawab Ayyas, berbarengan dengan Mela dan Fany.
"Dokter tersebut terdiam sejenak,"Maaf, kami dari tim dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ternyata Sang Pemilik Kehidupan lebih menyayanginya daripada kita. Dia telah pergi....,"
Ayyas terduduk lemas, tanpa disadari butiran bening membasahi pipinya,"Mengapa kamu meninggalkanku begitu cepat, Fia? Disaat aku ingin mengungkapkan semuanya....,"

THE END

"Jika dunia tidak merestui cinta kita, biarlah di alam sana nanti kita bersama,
Tunggu aku di pintu surga,
Sahabatku, Cinta sejatiku...."



Saturday 12 January 2013

Anak Kecil & Coretan Mustahil

Small Things Matter

Sebuah karakter luar, bisa jadi akan mencerminkan karakter dalam masing-masing individu, tapi tidak semua individu sama. Mungkin kalian pernah menemui seseorang yang memiliki karya yang mungkin membuat kalian menggelengkan kepala karena seseorang yang anda kenal itu hanyalah orang biasa saat terlihat dari karakter luarnya saja. Mulai sekarang, belajarlah untuk tidak menilai orang dari luarnya saja, karena mungkin saja orang itu menutupi keahliannya dengan melakukan hal-hal bodoh seperti yang dilakukan anak kecil. Mengapa? Karena orang itu lebih memilih untuk tidak mempublikasikan pribadinya.

Mungkin, setelah ini kalian sadar telah menemukan seseorang yang hanya akan terlihat seperti anak kecil yang masih labil dan belum punya pendirian. Iya memang benar, anak itu memang masih kecil karena usianya belum genap 16 tahun. Tapi seusia jagung itu, anak kecil tersebut memiliki prinsip "Orang lain meremehkan karyaku? Itulah hal biasa yang sering kudengar, yang terpenting aku tidak pernah meremehkan diri sendiri dan ingin mencoba hal-hal baru yang mungkin orang lain menganggapnya mustahil bagiku untuk melakukannya sendiri."

Dari sudut pandang orang yang berpikir realistis, anak itu hanyalah seorang pecundang yang hanya bisa berkhayal dan mustahil untuk menciptakan karyanya sendiri. Tapi itulah dia, beserta pola pemikirannya. Sebagian orang yang belum begitu memahaminya, akan berpikir coretan-coretan di dalam blog ini mustahil apabila anak kecil tersebut yang membuatnya.

"Jangan menilai orang sebelum mengenalnya
 jangan meremehkan orang lain sebelum bertanding melawannya
 dan jangan bicarakan orang sebelum bicara dengannya" -Mario Teguh

Tuesday 8 January 2013

Umur dan Kedewasaan


Umur dan kedewasaan itu bukan seperti rumus F = m x a yang di mana semakin besar massa, semakin besar pula gaya yang dibutuhkan (berbanding lurus). Bukan juga seperti seperti rumus energi kinetik setengah m v kuadrat di mana besarnya energi kinetik berbanding lurus dengan kuadrat kecepatannya. Yang jelas umur dan kedewasaan itu tidak ada rumus yang pasti seperti yang ada di pelajaran fisika atau matematika. Umur dan kedewasaan juga tidak dapat dibuat grafik. Grafik linier, grafik parabola, grafik asimtot, atau grafik apa lah tidak dapat menggambarkannya. Kalaupun kalian ingin mencoba menggambarkannya dengan grafik, saya jamin grafik itu tidak lebih baik dari coretan garis yang dibuat oleh anak balita.

Oh ya! Sedikit peringatan sebelum Anda membaca lebih lanjut ke bawah. Ini hanyalah sebuah tulisan yang dibuat oleh seorang siswa kelas 2 SMA dan belum bisa dikatakan dewasa, bahkan jauh dari kata tersebut. Ini hanyalah sebuah tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan pribadi penulis yang belum hidup selama 16 tahun. Maka dari itu, jika Anda adalah hanyalah orang yang lebih tua dari saya yang akan mengatakan bahwa penulis sok dewasa atau semacamnya, lebih baik segera tutup halaman ini. Namun, jika Anda adalah orang dewasa yang membiarkan seorang anak kecil seperti saya mengeluarkan uneg-unegnya, silakan membaca lebih lanjut ke bawah. Terima kasih.

Lanjuuutt...

Saya akan membawa kalian mundur sedikit (atau banyak ya? tergantung umur, hehe) ke masa lalu. Ingat saat kita berganti seragam dari putih-merah menjadi putih-biru? Wah, berasa keren, ya? Udah jadi anak SMP, bukan anak SD lagi. Berasa lebih dewasa deh ya. Yak! Di masa ini kita udah mulai berasa dewasa. Baru 'berasa' doang (pandangan subjektif dari masing-masing individu) alias 'sok', sok dewasa! Asal nge-judge ini yang bener itu yang salah, ini yang haq ini yang batil, yang salah si ini yang bener si itu. Asal menghakimi padahal gak tau dasarnya apa. Emang deh, masa-masa SMP itu masa-masa lagi sok-soknya dan unyu-unyunya.

Saat seragam kita berganti lagi menjadi putih-abu, makin berasa dewasa deh, berasa makin keren juga. Di masa ini lebih ngerti mana yang benar dan mana yang salah, sayangnya emosi malah mengalahkan pengetahuan kita akan yang haq dan yang batil, yang salah dan yang benar. Karena itu, yang dapat mengendalikan emosinya lebih sukses menjadi dewasa ketimbang yang emosinya labil.

Ketika kita lanjut ke jenjang berikutnya, saat kita melepaskan seragam, kita akan merasa makin keren lagi dan lagi, berasa makin dewasa lagi. Saya memang belum melewati masa ini, tapi berdasarkan pengamatanku, masa kuliah (atau sudah lulus SMA) adalah masa di mana seseorang mulai benar-benar mengerti mana yang benar dan salah, mulai bisa mengendalikan emosi, mulai beranjak dewasa.

Akan tetapi, apakah semuanya selalu seperti itu?

No offense, guys, pada nyatanya banyak juga orang dewasa yang masih kekanakan dan banyak juga anak kecil yang sudah berpikiran dan bersikap dewasa. Coba kalian lihat di sekitar kalian, kurasa, ah salah! maksudku, aku yakin bahwa banyak orang yang lebih tua dari kalian, tapi jiwanya masih labil dan bersikap tidak dewasa, atau sebaliknya. Itulah keadaan yang ada di sekitarku.

Secara tidak langsung, kurasa pernyataanku tadi seperti orang yang sudah menganggap dirinya dewasa. Entahlah, aku pun tidak tahu. Sudah kubilang kan, saya menulis artikel ini menurut pandangan saya.

Oke, lanjut lagi...

Sebenernya apa sih yang penulis maksud tentang 'dewasa' di sini?
Dewasa adalah saat di mana seseorang sudah dapat mengetahui mana yang benar dan salah, mengendalikan emosi, dan mampu berpikir secara objektif.

Bagiku, yang menarik adalah poin ketiga: mampu berpikir secara objektif. Sulit bagi orang biasa untuk dapat berpikir secara objektif, itu menurut pandanganku terhadap orang-orang. Bagi saya sendiri, berpikir objektif itu tidak terlalu sulit karena saya memang 'benci' orang yang selalu berpikir subjektif. Apa yang menghalangi seseorang berpikir objektif? Nafsu. Ya, nafsu = emosi, kembali lagi ke emosi. Ternyata kedewasaan selalu lekat hubungannya dengan emosi.

Sekali lagi, umur dan kedewasaan itu tidak berbanding lurus. Tidak dapat digambarkan dalam grafik maupun dituliskan dalam rumus. Jangan berpatok pada orang yang lebih TUA dari kita, tapi berpatoklah pada orang yang lebih DEWASA dari kita. Atau salah-salah, kita malah menangkap ilmu yang salah kalo berpatok pada asal orang yang lebih tua.

Sekian tulisan argumentasi dari bocah 15 tahun yang tak dewasa ini.


              
          "salah saat kamu berkata untuk mencari orang yang lebih tua darimu, yang benar adalah kamu mencari orang yang lebih dewasa darimu"

Cuek Bukan Berarti Tidak Sayang


Sikap seperti ini (cuek) biasanya dimiliki oleh orang-orang cuek yang keliatan masa bodoh, tapi bukan berarti di hati mereka itu mereka gak punya cinta. Sikap orang cuek emang biasanya 99% bikin orang bete, tapi bukan maksud mereka bikin orang bete.



Orang cuek juga bisa cinta sama lawan jenis (maksudku buat orang cuek yg normal, haha). Cuma cara mereka nunjukinnya emang beda, mereka punya cara sendiri buat nunjukkin rasa cintanya. 

Orang cuek emang selalu keliatan nyebelin, apalagi di mata pasangannya. mereka keliatan ga peduli sama perasaan pasangannya. Padahal dalam hatinya mereka peduli, sangat sangat peduli. Cuma mereka nggak tau gimana caranya nunjukkin rasa peduli itu. 


Mereka pengen ngeliat kamu seneng, tapi kenyataannya mereka malah selalu bikin kamu bete gara-gara sikap cueknya itu. Mereka pengen ngebahagiain kamu, tapi bingung gimana cara yang pas buat bikin kamu bahagia. 


Terkadang mereka malah ngelakuin hal yang kamu gak suka berulang kali, itu bukan maksud mereka bikin kamu jengkel, tapi itu emang udah sifatnya yang seharusnya kamu bisa menerima kelemahannya di bidang perhatian. 


Kadang orang-orang cuek emang keliatan nyebelin di mata pasangannya. Mereka gak pernah nunjukin rasa cemburu kalo kamu lagi deket sama cowo atau cewe lain. Tapi asal kamu tau, dalam hati mereka rasanya pengen meledak, pengen teriak sekenceng-kencengnya kalo mereka takut kehilangan kamu, tapi mereka gak bisa ngelakuin itu. 


Kadang juga mereka keliatan kayak gak peduli kalo kamu sedih, padahal sebenernya mereka gak mau ngeliat kamu sedih. Rasanya mereka pengen meluk kamu, menghapus air mata kamu, dan bilang,"jangan sedih lagi ya sayang, kan masih ada aku yang sayang kamu." atau kata-kata sejenis itu. Tapi yang akhirnya keluar dari mulut mereka,"Udah, gak usah nangis. Jangan dipikirin." 


Orang-orang cuek biasanya jauh dari kata romantis. Mereka emang ga bisa ngebuai kamu dengan sikap-sikap romantisnya. Tapi percaya deh, mereka sebenernya berusaha untuk bisa keliatan romantis walaupun bagi kamu itu belom romantis. Misalnya mereka berusaha nahan ngantuk buat ngucapin selamat ultah pas jam 12 malem pas hari ultah kamu atau mungkin bikin kejutan-kejutan kecil yg bagi kamu ga berharga sama sekali, padahal butuh perjuangan buat mereka ngelakuin itu. 


Mereka jarang sms atau telpon kamu, bahkan untuk sekedar nanya,"Sayang, lagi ngapain? udah makan belom?" itu rasanya berat banget. Tapi bukan berarti mereka gak mikirin kamu. Mereka cuma bisa bertanya2 dalam hati "gimana kabarnya hari ini?" , "dia lagi apa ya?" , "udah makan belom dia ya?" , "lagi sama siapa ya?" 


Yang paling parah, ada orang cuek yang kalo suka sama seseorang, gak mau nunjukin perasaannya ke orang itu. Bahkan sampe orang itu cape nungguin pernyataan cinta trus akhirnya punya gebetan baru, mereka cuman gigit jari dan gak bisa ngelakuin apa-apa buat nyatain perasaannya kalo mereka bener-bener cinta sama orang itu. 


Yang terakhir, sebenernya orang-orang cuek itu bener-bener gak mau kehilangan orang yang disayang, sama kayak orang-orang normal lainnya. Tapi anehnya, mereka gak bisa nahan kamu waktu kamu bilang udah gak tahan sama sikapnya yang cuek. Mereka cuma bisa pasrah ngeliat kamu pergi. Tapi percayalah, dalam hati mereka, mereka bener-bener cinta dan sayang kamu. Mereka cuman mau yang terbaik buat kamu, biar kamu bisa bahagia, bukan menderita hidup sama orang cuek kayak mereka. Mereka cuma nungguin kamu yang ngasih kabar ke mereka dan waktu kamu udah ngasih kabar, hati mereka rasanya lega karna semua pertanyaan di hatinya udah kejawab.


         "setiap orang memiliki karakternya masing-masing
        jadi jangan beda-bedakan orang satu dengan orang lain
        karena itu anugrah dari Tuhan yang diberikan untuk kita"


Monday 7 January 2013

Diam Bersuara

                                                                                                    


"silence is better than bullshit"

Hati-hatilah saat kamu mengucap kata, karena di manapun kamu berada dengan sepercik kata itulah yang bisa mencerminkan karaktermu. Hati-hatilah saat berbicara dengan orang lain, semua orang memiliki karakter berbeda-beda. Saat kamu berbicara dengan orang yang tidak bisa berpikir panjang, kalian mungkin akan menemukan kesulitan untuk memahaminya. Tetapi, saat kamu berbicara dengan orang yang selalu diam, jangan pernah sekalipun kamu pikir orang tersebut tidak bisa menghargai kamu....Itu salah besar!

Mengapa? 

Karena mereka yang diam bukan berarti tidak tahu, mereka tahu dan paham namun mereka lebih memilih untuk menghindari kegaduhan. Mereka bukan benci perdebatan namun mereka menganggap pencarian solusi lebih utama dibanding membicarakan masalah. mereka memang diam, namun sebenarnya mereka pun jengah. Mereka tahu namun tidak ingin ribut. Mereka paham namun tidak ingin menggurui. Mereka memang diam, mereka punya solusi namun mereka tidak mencari publikasi. Mereka berkontribusi namun tidak dengan sok aksi. Ya mereka diam karena mereka memilih untuk diam, mereka yang diam bukan berarti tak pernah berpikir, mereka yang diam bukan karena tidak peduli, mereka diam karena diam lebih baik.